Sabtu, 24 Oktober 2009

Askep Respiratory Distress Sindrome

RDS
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

A. Pengertian
RDS adalah dispnea dengan sianosis pada neonatus, yang mudah dikenali dengan tanda prodmoral, seperti dilatasi alanasi, dengkur ekspirasi, dan retraksi incisura suprasternal atau margin costalis, disebabkan oleh definisi surfaktan. Ini biasanya terjadi pada bayi prematur, anak2 dari ibi diabetes, dan bayi yang lahir dengan seksio casarea, walaupun kadang2 terdapat penyebab predisposisi yang tidak jelas. Beberapa bayi yang terkena mati pada beberapa hari pertama kehidupan dan otopsi mempunyai materi hyaline eosinofilik yang melapisi alveoli, ductus alveolaris, dan bronchioli. Disebut juga restless legs dan ekboms.
RDS adalah perkembangan immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. Dihubungkan dengan usia kehamilan, BBLR dengan BB lahir kurang dari 1000gr. 20% berkembang dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD).
Paru2 yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir agar bisa bernafas dengan bebas, ketika lahir kantong udara harus dapat terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oelh paru2 dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara saat2 bernafas, paru2 benar2 mengempis, akibatnya terjadi sindroma distress pernapasan.

B. Patofisiologi
v Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alvoeli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernapasan karena immaturnya dinding dada, parenkim paru, dan immaturnya endotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.
v Pada bayi dengan RDS disebabkan oleh menurunnya jumlah surfaktan atau perubahan kualitatif surfaktan, dengan demikian menimbulkan ketidakmampuan alveoli untuk ekspansi. Terjadi perubahan tekanan ekstrathoracic dan menurunnya pertukaran udara.
v Secara alamiah perbaikan mulai setelah 24 – 48 jam. Sel yang rusak akan diganti. Membran hyaline berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), dipagosit oleh makrofag. Sel cuboidal menempatkan pada alveolar yang rusak dan epitelium jalan napas, kemudian terjadi perkembangan sel kapiler baru pada alveoli. Sintetis surfaktan memulai lagi dan kemudian membantu perbaikan alveoli untuk pengembangan.
Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi pematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan untuk berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru2 menjadi kaku. Hal ini menyebabkan perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan menjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru2 nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru2 memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epitel sel alveoli tipe II, dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matrisk fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam datu setengah jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah kompleks; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi retikulogranular karena atelektasis dan air bronchogram. Gejala klinikal yang progresif dari RDS adalah: takipnea diatas 60x/menit, Grunting ekspiratori, subcostal dan interkostal retraksi, cyanosis, nasal faring pada bayi extremely prematur (BBLR) mungkin apat berlanjut apneu, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan kembali dalam paru pada umur 36 – 48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24 – 36 jam pertama. Selanjutnya apabila situasi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60 – 72 jam dan sembuh pada akhir minggu pertama.


C. Manifestasi Klinik
v Pernapasan cepat
v Retraksi (tarikan dada) (suprasternal, substernal, interkostal)
v Pernapasan terlihat paradoks
v Cuping hidung
v Apnea
v Murmur
v Sianosis pusat
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu: adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipneu (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu: (1) terdapat sedikti bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, (2) bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru, (3) alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas, (4) seluruh thorax sangan opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.

D. Dx Kep.
1. Tidak efektifnya jalan nafas b.d hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas d.d dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
2. Gangguan pertukaran gas b.d alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli d.d takipneu, penggunaan otot2 bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABG’s, dan A-a Gradient.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan b.d penggunaan diuretik, keluaran cairan kompartemental.
4. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d edema pulmonal non kardia.
5. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung, edema, hipotensi.
6. Pola napas tidak efektif b.d pertukaran gas tidak adekuat, peningkatan sekresi, penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat atau kelelahan.
7. Cemas b.d krisis situasi, pengobatan, perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) d.d mengekspresikan masalah yang sedang dialami, TD meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
8. Defisit pengetahuan mengenai kondisi, terapi yang dibutuhkan b.d kurang informasi, salah persepsi dari informasi d.d mengajukan pertanyaan, menyatakan masalahnya.

E. Intervensi
Dx I: Tidak efektifnya jalan nafas b.d hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas d.d dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan:
- Klien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas jernih dan ronchi (-)
- Klien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan:
Independen
Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya pengguanaan otot2 intercosta/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus. Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus.
Catat karakteristik dari suara nafas
Catat karakteristik dari batuk
Pertahankan posisi tubuh/ posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi, dan lakukan suction bila ada indikasi
Peningkatan oral intake jika memungkinkan.
Kolaborasi
Berikan oksigen, cairan IV
Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasi
Berikan fisioterapi dada
Berikan bronchodilator
DX II: Gangguan pertukaran gas b.d alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli d.d takipneu, penggunaan otot2 bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABG’s, dan A-a Gradient.
Tujuan:
- Klien dapat memperluhatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal
- Bebas dari gejala distress pernapasan
Independen
Kaji status pernapasan , catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
Catat ada tidaknya suara napas dan adanya bunyi napas tambahan seperti crakless dan wheezing.
Kaji adanya cyanosis
Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Kolaborasi
Berikan humidifer oksigen dengan CPAP jika ada indikasi
Berikan pencegahan IPPB.
Review X-ray dada
Berikan obat2 jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator, dan expektorant.
Dx III: Resiko tinggi defisit volume cairan b.d penggunaan diuretik, keluaran cairan kompartemental.
Tujuan: Klien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda TD, BB, urine output pada batas normal.
Independen
Monitor vital sign
Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban membran mukosa dan karakter sputum
Hitung intake, output, dan balance cairan
Timbang BB setiap hari.
Kolaboratif
Berikan cairan IV dengan observasi ketat
Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi

Askep Hepatitis A

HEPATITIS A


A. Pengertian dan Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis (HAV). HAV menular melalui makanan/minuman yang tercemar kotoran (tinja) dari seseorang yang terinfeksi masuk ke mulut orang lain. HAV terutama menular melalui makanan mentah atau tidak cukup dimasak, yang ditangani oleh seseorang dengan hepatitis A (walaupun mungkin dia tidak mengetahui dirinya terinfeksi).
Minum air atau es batu yang tercemar dengan kotoran adalah sumber infeksi lain, serta juga kerang2an yang tidak cukup dimasak. HAV dapat menular melalui “rimming” (hub. Seks oral-anal). HAV jarang menular melalui darah ke darah.
Hepatits A adalah bentuk hepatitis yang akut, brarti tidak menyebabkan infeksi kronis. Sekali kita pernah terkenan hepatitis A, kita tidak dapat terinfeksi lagi. Namun, kita masih dapat tertular virus hepatitis lain.

B. Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleus. Proses ini menyebabkan degenerasi dan nekrosis sel parenchym hati.
Respon peradangan menyebabkan pembengkakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekskresikan ke dalam kantong empedu bahkan ke dalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatocelular jaundice. Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan timbulnya sakit dengan gejala ringan.

C. Manifestasi Klinik
Tidak semua orang yang terinfeksi HAV akan mempunyai gejala. Misalnya, banyak bayi dan anak muda terinfeksi HAV tidak mengalami gejala apapun. Gejala lebih mungkin terjadi pada anak yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa. Gejala hepatitis A (dan hepatitis akut pada umumnya) dapat termasuk:
· Kulit dan Putih mata menjadi kuning (ikterus)
· Kelelahan
· Sakit perut kanan-atas
· Hilang nafsu makan
· BB turun
· Demam
· Mual dan muntah
· Diare
· Urine seperti teh dan kotoran berwarna dempul
· Sakit sendi
Infeksi HAV juga dapat meningkatkan tingkat enzim yang dibuat oleh hati menjadi di atas normal dalam darah.
Sistem kekebalan tubuh membutuhkan sampai delapan minggu untuk mengeluarkan HAV dari tubuh. Bila timbul gejala, umumnya dialami dua sampai empat minggu setelah terinfeksi. Gejala hepatitis A umumnya hanya satu minggu, akan tetapi dapat lebih dari satu bulan. Kurang dari 15% orang dengan hepatitis A mengalami gejala dari enam sampai sembilan bulan. Kurang lebih satu dari 100 orang terinfeksi HAV dapat mengalami infeksi cepat dan parah (yang disebut “fulminant”), yang sangat jarang dapat menyebabkan kegagalan hati dan kematian.
Gambaran Klinis
Stadium preikterus (prodromal) 4-7 hari. Pada stadium ini gejala yang umum terjadi adalah demam, nyeri kepala, lemah, anoreksia, mual, dan muntah. Kadang disertai nyeri perut kanan atas atau saluran nafas bagian atas. Dapat terjadi obstipasi atau diare. 1-3 hari sebelum ikterus tampak, urine berwarna kuning tua atau lebih pekat karena urobilin 2+ dan bilirubin +.
Stadium ikterus, 3 minggu. Pada stadium ini mulai tampak ikterus pertama-tama pada selera kemudian menyebar ke seluruh tubuh, bergantung dari imunitas pasien dan virulensi virus. Suhu tubuh mulai menurun dan keluhan lain berkurang, keadaan umum lebih baik tetapi anoreksia dan muntah masih ada. Hati membesar dan nyeri tekan. Pengujian fungsi hati menunjukkan kelainan.
Stadium post ikterus (rekonvalensi). Pada anak stadium ini lebih pendek daripada orang dewasa. Umumnya pada anak penyembuhan terjadi sempurna pada akhir bulan kedua (hanya sedikit yang masih menunjukkan kelainan fungsi hati). Ikterus mengurang, warna urine dan feses kembali biasa.

D. Penularan
Penyakit hepatits disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran atau tinja penderita biasanya melalui makanan (feces-oral), jarang melalui aktivitas seksual atau melalui darah, selain itu akibat buruknya tingkat kebersihan. Penelitian infektivitas menunjukkan bahwa resiko paling besar penularan hepatitis A adalah antara 2 minggu sebelum dan 1 minggu sesudah timbulnya ikterus. Penularan melalui jalan udara relatif tidak begitu penting.

E. Evaluasi Diagnostik
Diagnosis hepatitis A ditegakkan dengan tes darah. Dokter akan meminta tes ini bila mengalami gejala hepatitis A atau bila kita ingin tahu apakah kita pernah terinfeksi HAV sebelumnya. Tes darah ini mencari dua jenis antibodi terhadap virus, yang disebut IgM dan IgG (Ig adalah singkatan intuk imunoglobulin). Pertama, dicariantibody IgM, yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh lima sampai sepuluh hari sebelum gejala muncul, dan biasanya hilang dalam enam bulan. Tes juga mencari antibodi IgG, yang menggantikan antibodi IgM dan untuk seterusnya melindungi terhadap infeksi HAV.
Bila tes darah menunjukkan negatif untuk antibodi IgM dan IgG, kita kemungkinan tidak pernah terinfeksi HAV, dan sebaiknya mempertimbangkan untuk divaksinasi terhadap HV.
Bila tes menunjukkan positif untuk antiodi IgM dan negatif untuk IgG, kita kemungkinan tertular HAV dalam enam bulan terakhir ini, dan sistem kekebalan sedang mengeluarkan virus atau infeksi untuk mencegah menjadi semakin parah.
Bila tes menunjukkan negatif untuk antibodi IgM dan positif untuk antibodi IgG, kita mungkin terinfeksi HAV pada suatu waktu sebelumnya, atau kita sudah divaksinasikan terhadap HAV. Kita sekarang kebal terhadap HAV.
Uji yang biasa dipakai untuk menilai fungsi hati meliputi alanine transminase (ALT), aspartate transminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), gammaglutamyl transferase (GGT), bilirubin serum, masa protombin, albumin dan globulin. Masing2 tes menggambarkan fungsi2 hati yang berbeda, misalnya bilirubin yang melambangkan fungsi ekskresi dan albumin sebagai petunjuk fungsi sintesis. Abnormalitas tes2 di atas biasa terjadi pada kasus penyakit hati, tetapi karena enzim2 tersebut juga terdapat jaringan lain maka kenaikan dapat pula terjadi pada kondisi di luar penyakit hati.
Semua fungsi hati terganggu:
· Transminase serum meningkat (SGOT = Serum Glutamine Oxalatic Transminase atau = ASAT = Aspartate amino transferase; SGPT = Serum Glutamate Pyruvate transminase = ALAT = Alanine amine transferase), SGPT pada umumnya lebih tinggi daripada SGOT.
· Bilirubin serum meningkat, bilirubin direk sangat meningkat dibandingkan indirek pada jenis kholestatik. Bilirubin hanya sedikit meningkat pada hepatitis non ikterik.
· Bilirubin urine (+) sebelum bilirubin serum meningkat dan urine menjadi terang kembali walau penderita masih kuning.
· Tinja menjadi pucat pada hepatitis jenis kholestatik
· Alkali fosfate meningkat, pada tipe kholestatik dapat mencapai 30 KA
· Protein serum: albumin serum pada umumnya tidak berubah, albumin yang rendah menunjukkan kerusakan hati yang berat atau penyakit hati yang kronik; globulin serum meningkat
· Test flokulasi (+) (TTT, kunkle meningkat)
· Aktivitas cholinesterase menurun).
Dari semua perubahan biokimia ini, yang terpenting yakni kenaikan transminase yang sangat mencolok mempunyai nilai diagnostik.
Untuk pengobatan perlu ada basil test faal hati serta biopsi hati. Jika akan di biopsi hati harus sudah ada hasil Px tentang masa perdarahan, masa pembekuan, dan masa protombin. Bila hasilnya baik biopsi dilakukan, jika tidak baik biasanya diperbaiki dahulu dan biopsi ditunda. Jika biopsi akan dikerjakan, sebelumnya perut sebelah kanan atas dibersihkan kemudian dikompres dengan alkohol 70%. Sebaiknya biopsi dilakukan sebelum pasien makan. Pada saat biopsi dikerjakan, sikap pasien berbaring terlentang, perawat dengan tangan kanan membantu perut ke atas dan tangan kiri memegang tangan pasien agar tidak mengganggu. Pasca biopsi pasien perlu diobservasi tanda vital dan keadaan umumnya setiap jam selama 2 jam pertama, 2 jam kemudian, dan selanjutnya sesuai dengan keadaan umum pasien (bahaya biopsi hati terjadi perdarahan di dalam).

F. Manajemen terapeutik
Pengobatan umum untuk hepatitis A adalah istirahat di tempat tidur. Juga penting minum banyak cairan, terutama bila kita mengalami diare atau muntah. Obat penawar rasa sakit yang dijual bebas, misalnya ibuprofen dapat mengurangi gejala hepatitis A, tetapi sebaiknya kita membicarakannya lebih dahulu dengan dokter.
Apabila hepatitis yang disebabkan oleh alkohol, narkoba, obat2an atau racun yang mengakibatkan gejala yang sama seperti virus hepatitis, pengobatan yang paling baik adalah menghentikan penggunaan alkohol, narkoba, atau obat2an yang dapat mengganggu hati.

G. Pencegahan
Timbulnya hepatitis dalam barak2 atau panti perawatan sering merupakan petunjuk sanitasi dan higiene perorangan yang buruk. Pengendaliannya langsung ditunjukkan pada pencegahan terkontamiasinya makana, air, atau sumber2 lainnya oleh tinja. Kebersihan seperti mencuci tangan setelah BAB atau sebelum makan, penggunaan piring dan alat makan sekali pakai, dan pemakaian desinfektan natrium hipoklorit 0,5% sangat penting dalam mencegah penyebaran HAV selama fase akut penyakit. Tindakan konservatif yang berlebihan, seperti penggunaan jubah, masker, dan sarung tangan, biasanya tidak perlu kecuali jika hendak mengadakan kontak langsung dengan tinja atau benda2 yang terkontaminasi tinja.
Walaupun kita belum menerima vaksinasi terhadap hepatitis A, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah infeksi HAV:
· Hindari air, termasuk es yang mungkin tercemar kotoran
· Hindari kerang2an yang mentah dan kuang masak
· Selalu cuci tangan dengan sabun dan air setelah ke kamar mandi, mengganti popok bayi, dan sebelum menyiapkan makanan
· Memakai penghalang lateks untuk seks oral-anal

H. Komplikasi
Penyakit hepatitis kadang2 dapat timbul sebagai komplikasi leptospirosis, sifilis, tuberculosis, toksoplasmosis, dan amebiasis, yang kesemuanya peka terhadap pengobatan khusus. Penyebab noninfeksiosa meliputi penyumbatan empedu, sirosis empedu primer, keracunan obat, dan reaksi hipersensitivitas obat. Komplikasi akibat hepatitis A hampir tidak ada, keculai pada para lansia atau seseorang yang memang sudah mengidap penyakit kronis hati atau sirosis.

I. Tips menjaga kebugaran Hati
Konsumsi makanan bergizi untuk menajga kesehatan hati
Hindari minuman beralkohol
Jangan mencampur obat, resep dan sejenisnya tanpa seijin dokter
Hindari menghirup asap/upa zat beracun seperti cat tembok, tiner, zat kimia
Hati2 dengan kontak pertukaran darah atau cairan tubuh
Jaga kebersihan pribadi. Hindari pemakaian milik pribadi orang lain seperti pisau cukur, sikat gigi, dll
Olahraga secara teratur
Istirahat yang cukup

J. Dx Kep.
Hipertermi b.d penyakit
Nyeri akut b.d agen injury fisik
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan memasukkan makanan karena faktor biologis

K. Outcomes
1. Hipertermi b.d penyakit
Thermoregulation
Kriteria Hasil:
· Suhu tubuh dalam rentang normal
· Nadi dan RR dalam rentang normal
· Tidak ada perubahan warna kulit, dan tidak ada pusing
2. Nyeri akut b.d agen injury fisik
Comfort Level
Pain: Disruptive Effect
Kriteria hasil:
· Menggunakan skala nyeri untuk mengidentifikasikan tingkat nyeri
· Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
· Melaporkan kebutuhan tidur dan istirahat tercukupi
· Mampu menggunakan metode non farmakologi untuk mengurangi nyeri
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan memasukkan makanan karena faktor biologis
Nutritional Status: Food and Fluid Intake
Nutritional Status: Nutrient Intake
Weight Control
Kriteria Hasil:
· Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan
· BB ideal sesuai dengan tinggi badan
· Mampu mengidentifikasikan kebutuhan nutrisi
· Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
· Tidak terjadi penurunan BB yang berarti

Askep Apendisitis

APENDISITIS

A. Pengertian
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksipada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan penanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu bisa pecah. Usu buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian bawah usus besar atau sekum. Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya,. Namun, banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.

B. Klasifikasi
Apendisitis terbagi 2 yaitu:
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

C. Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun, terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, benda asing dalam tubuh, kanker primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.

D. Patofisiologi
Apendisk terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberap jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi menjadi pus.

E. Manifestasi klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari: Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa sevara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8 – 38,8oC.
Pada bayi dan anak2, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orangtua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

F. Evaluasi Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa apendisitis didasarkan atas anamnase ditambah dengan pemeriksaan lab serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnase, ada4 hal yang penting yaitu: nyeri mula2 di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah, muntah oleh karena nyeri viseral, panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
Pemeriksaan yang lain lokalisasi
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc.Burney. jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc.Burney.
Test rektal
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolototomi.
Pemeriksaan lab leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb nampak normal, LED meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan Dx apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadangkala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fekolit. Pada keadaan perforasi ditemukan adannya udara bebas dalam diafragma.

G. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila Dx apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah Dx ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Askep sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan2 fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena itu banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anestesi.

H. Dx Kep.
1. Resiko berkurangnya volume cairan b.d adanya mual dan muntah
Tujuan: Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan kriteria klien tidak diare, nafsu makan baik, klien tidak mual dan muntah.
Intervensi
Monitor tanda2 vital
Monitor intake dan output dan konsentasi urine
Berikan cairan sedikit demi sedikit tapi sering

2. Gangguan rasa nyaman/nyeri b.d distensi jaringan intestinal
Tujuan: rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria pernapasan normal, sirkulasi normal
Intervensi:
Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karakeristik nyeri
Anjurkan pernapasan dalam
Lakukan gate kontrol
Beri analgetik

Askep Gagal napas

GAGAL NAFAS


A. Pengertian
Gagal nafas didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan akibat tidak adekuatnya pengambilan O2 dan pengeluaran CO2. sering dinyatakan dengan tingkat tekanan O2 dan CO2 arteri secara lebih terinci, gagal nafas akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak PaCO2 dibawah 50mmHg dan atau peningkatan mendadak PaCO2 diatas 50mmHg. Peningkatan CO2 yang terjadi disertai dengan asidemia. Penderita penyakit paru kronik dengan keadaan gas arterial yang mendekati keadaan diatas tidak dimasukan ke dalam kategori ini karena tidak disertai asidemia sebagai akibat sudah terjadinya kompensasi ginjal.
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eleminasi PaCO2 dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi.
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan CO2 dalam tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanan CO2 lebih besar dari 45mmHg (hiperkapnia).

B. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing2 mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien dengan paru normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronchitis kronik, emfisema, dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Paien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru kembali ke keadaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang irreversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi pernapasan normal ialah 16 – 20 x/menit. Bila lebih dari 20x/menit tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi.
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia, dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernapasan. Sehingga pernapasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernapasan tidak adekuat karena terdapat agen yang menekan pernapasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dan analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru2 dapat mengarah ke gagal nafas akut.

C. Etiologi
Depresi sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal napas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernapasan yang mengendalikan pernapasan, terletak di bawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernapasan lambat dan dangkal.
Kelainan neurologis primer
Akan mempengaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot2 pernapasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot2 pernapasan atau pertemuan neuromuskular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
Efusi pleura, hematoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakit paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal napas. Kecelakaan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan napas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pneumothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin dapat menyebabkan gagal napas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal napas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengiritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkhial, embolisme paru dan edema adalah beberapa kondisi lain yang menyebabkan gagal napas.


D. Tanda dan Gejala
Tanda
Gagal napas total
v Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
v Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra clavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
v Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
Gagal napas parsial
v Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing, dan whizing
v Ada retraksi dada
Gejala
v Hiperkapnia yaitu penurunan kesadarn (PCO2)
v Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat, atau sianosis (PO2 menurun)

E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan gagal napas pada bayi, diantara sebagai berikut:
v Rendahnya kadar O2 dalam darah menyebabkan sianosis (warna kebiruan)
v Tingginya kadar CO2 dan peningkatan keasaman darah menyebabkan kebingungan dan perasaan mengantuk.
v Tubuh sebenarnya mencoba untuk mengeluarkan CO2 dengan pernapasan cepat dan dalam, tai jika paru2 tidak berfungsi secara normal maka pola napas seperti itu tidak dapat membantu.
v Rendahnya kadar O2 dengan segera bisa menyebabkan gangguan pada otak dan jantung. Hal ini ditandai dengan penurunan kesadaran atau pingsan.
v Menyebabkan aritmia jantung yang bisa membawa pada kematian.

Beberapa gejala gagal napas bervariasi berdasarkan penyebabnya:
v Anak dengan sumbatan jalan nafas karena aspirasi benda2 asing akan tampak terengah2 dan melakukan usaha keras dalam bernafasnya.
v Sedangkan seseorang yang keracunan mungkin tampak tenang sampai dengan koma.

Seseorang dokter bisa mencurigai adanya gagal napas dari gejala dan Px. Test darah mengkonfirmasikan Dx ketika ditemukan adanya kadar O2 yang sangat rendah atau kadar CO2 yang sangat tinggi.
Tapi sebenarnya selain lewat Px darah, terdapat metode sederhana yaitu dengan menggunakan indikator frekuensi pernafasan dan kapasitas vital.
Frekuensi pernapasan
Normalnya 16 – 20, jika sampai 25x/menit, status pasien harus dievaluasi dan memulai tindakan yang tepat, yaitu penghisapan, drainage postral, dan fisioterapi dada. Jika frekuensi pernapasan ≥40 x/menit maka akan menimbulkan kelelahan otot pernapasan yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal napas, sehingga membutuhkan bantuan ventilator.
Kapasitas vital
Dengan menggunakan spirometer, pasien diminta untuk mengambil napas dalam dan mengeluarkannya melalui spirometer sampai paru2 benar2 kosong. Jika hasilnya kurang dari 10 – 20 mmHg maka hal tersebut merupakan tanda ke arah gagal napas.
Jika perkembangan gagal napas berjalan lambat, maka akan diikuti oleh peningkatan tekanan dalam pembuluh darah paru. Kondisi ini dinamakan hipertensi pulmonar. Jika kemudian tidak tertangani, kondisi ini merusak pembuluh darah. Akibat lebih lanjut adalah gangguan perpindahan oksigen ke dalam darah, stres pada jantung yang akhirnya menyebakan gagal jantung.

F. Penatalaksanaan
v Terapi Oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah: masker venturi atau nasal prong
v Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
v Inhalasi nebuliser
v Fisioterapi dada
v Pemantauan hemodinamik/jantung
v Pengobatan: bronkodilator, steroid
v Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

G. Pengkajian
Airway
Breathing
Circulation
Kaji pengetahuan orangtua tentang penyakit dan pengobatan
Riwayat psikososial

H. Dx Kep.
Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mempertahankan pola pernapasan efektif
Kriteria hasil:
Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
Adanya penurunan dispneu
Gas2 darah dalam batas normal
Intervensi
Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan
Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam
Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg.

Hipertermi b.d penyakit atau trauma
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien akan menunjukkan termoregulasi (keseimbangan antara produksi panas, peningkatan panas, dan kehilangan panas).
Kriteria hasil:
Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
Perubahan warna kulit tidak ada
Intervensi
Pengobatan demam
Regulasi suhu
Pemantauan tanda vital

Askep Asma

BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah engah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan gambaran klinis napas pendek tanpa memandang sbabnya, sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk keadaan-keadaan yang menunjukkan respons abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas.
Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus yang berulang namun reversible, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Keadaan ini pada orang-orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan, yang menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus yang khas.
Gambar : saluran pernafasan manusia


Patofisiologi
Orang yang menderita asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai aliran udara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi). Ketidakmampuan ini tercermin dengan rendahnya volume udara yang dihasilkan sewaktu melakukan usaha ekspirasi paksa pada detik pertama (FEV1), dan berdasarkan parameter yang berhubungan aliran. Karena banyak saluran udara yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara cepat, tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya ruang penyesuaian normal antara ventilasi dan aliran darah paru. Bergantung pada beratnya penyakit, gangguan ini tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan perasaan iritasi pada trakea; pada kasus lain, gawat napas mungkin tidak dapat diatasi. Turbulensi arus udara dan getaran mucus bronkus mengakibatkan suara mengi yang terdengar jelas selama serangan asma; namun tanda fisik ini juga terlihat mencolok pada masalah saluran napas obstruktif. Pada asma simptomatik, napas lebih cepat dari normal (walaupun hal ini cenderung menambah resistensi aliran udara). Selain itu, dada mengambil posisi inspirasi maksimal, yang mula-mula dicapai secara paksa dan melebarkan jalan udara.
Pada asma tanpa komplikasi, batuk hanya mencolok sewaktu serangan mereda, dan batuk membantu mengeluarkan secret yang terkumpul. Lebih jarang lagi bila hanya batuk kering yang merupakan manifestasi yang jelas dari asma. Diantara serangan asma, pasien bebas dari mengi dan gejala, walaupun reaktivitas bronkus meningkat dan kelainan pada ventilasi tetap berlanjut. Namun, pada asma kronik, masa tanpa serangan dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan asma yang terus menerus seringg disertai infeksi bakteri sekunder.
Individu dengan asma, baik dengan maupun tanpa mekanisme alergi, memiliki kelabilan yang abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran napas. Penyempitan ini disebabkan oleh banyak faktor yang tidak memberikan efek pada orang normal. Dasar dari kecenderungan ini tetap tidak jelas, tetapi kelihatannya mirip dengan perubahan peradangan pada bronkus. Secara fungsional, saluran napas penderita asma bertindak seakan-akan persarafan beta-adrenergiknya (yang membantu mempertahankan saluran napas agar tetap paten) tidak kompeten, dan terdapat banyak bukti yang memberi kesan bahwa pada asma yang khas, terdapat sedikit hambatan pada reseptor beta-adrenergiknya, paling tidak secara fungsional. Pengaruh bronkokonstriktor, yang diketahui secara normal diperantarai oleh saraf parasimpatik (kolinergik) dan alfa-adrenergik, cenderung menonjol. Dalam praktik, kelabilan bronkus pada penderita asma dapat dipastikan dengan memperlihatkan respons yang nyata berupa obstruktif saluran napas mereka terhadap inhalasi histamine dan metakolin (zat dengan aktivitas yang menyerupai asetilkolin) dalam konsentrasi yang sangat rendah. Mekanisme yang sama mungkin membantu menimbulkan serangan asma setelah menghirup udara dingin maupun kontak dengan kabut tebal, debu, dan iritan yang mudah menguap. Jaras saraf yang sedikit diketahui juga menjadi perantara penutupan saluran napas akibat rangsangan psikis. (akan tetapi, jarang sekali asma yang semata-mata disebabkan oleh faktor emosional). Pada asma, jaras refleks yang menimbulkan bronkospasme disertai pengempisan rongga dada yang kuat, diaktifkan oleh gerakan-gerakan seperti tertawa, meniup balon, atau melakukan ekspresi penuh untuk tes pernapasan.
Gambar : asma terjadi karena penyempitan, peradangan& konstriksi otot bronkus.



Manifestasi klinis
Wheezing, Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan, pernapasan cuping hidung, batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen jalan napas sempit, diaphoresis, sianosis, nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan, kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn, tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara

Penyebab
Asma dapat dibagi menjadi dalam tiga kategori. Asma ekstrinsik, atau alergik, ditemukan pada sejumlah pasien dewasa, dan disebabkan oleh allergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dengan keluarga yang mempunyai riwayat penyakit atopik termasuk hay fever, eczema, dermatitis, dan asma. Asma alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap allergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu, serat kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat. Pajanan terhadap allergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan asma. Sebaliknya, pada asma intrinsic, atau idiopatik, ditandai dengan sering tidak ditemukannya faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor nonspesifik (seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi) dapat memicu serangan asma. Asma intrinsic lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun, dan sering timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial. Makin lama serangan makin sering dan makin hebat, sehingga keadaan ini berlanjut menjadi bronchitis kronik dan kadang-kadang emfisema. Banyak pasien menderita asma campuran,yang terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsic. Sebagian besar pasien asma intrisnik akan berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang menderita asma ekstrinsik sering sembuh sempurna saat dewasa muda.

Patogenesis
Serangan asma sering menyertai infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan sehingga penyakit dapat menjadi lebih berat, dan akhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit. Ketika pathogen pada penderita asma anak-anak sudah ditemukan, infeksi rinovirus dan virus parainfluenza telah diimplikasikan. Infeksi virus respiratorius sinsitial (RSV)sering menstimulasi kejadian asma yang berat dan diikuti oleh periode hiperaktif bronkus (BHR) yang lebih lama. Adanya infeksi sekunder yang bermakna dimanifestasikan dengan timbulnya demam, pengeluaran dahak purulen, meningkatnya sel darah putih atau ditemukannya pathogen di dalam dahak. Namun, seringkali satu-satunya tanda adalah asma yang menetap. Banyak anak-anak penderita asma yang dipacu oleh infeksi pada masa prasekolah, mengalami alergi hidung klasik atau asma alergi (atopik) di kemudian hari, walaupun beberapa indikasi mengatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah “alergi bacterial”. Karena organisme penyebab sering merusak epitel bersilia dan agen peradangan local pada bronkus yang labil, maka efek yang merugikan pada asma dapat diramalkan. Studi pada hewan juga telah memberi kesan bahwa zat-zat jasad renik nantinya akan dapat melemahkan aktivitas beta adrenergic yang sudah tidak adekuat.
Banyak penderita asm amengalami peningkatan mengi dan dispnea (napas pendek yang abnormal) setiap mengerahkan tenaga. Selain itu, suatu bentuk khusus asma yang diinduksi oleh kerja (EIA) sering terlihat ketika bronkospasme yang bermakna timbul setelah beberapa menit melakukan aktivitas singkat dan sering sembuh setelah istirahat. EIA paling sering dijumpai pada anak-anak, dan cirri khas EIA adalah timbul sebelum pengerahan tenaga pada orang yang tak memberikan gejala

Penatalaksanaan
Perjalanan penyakit yang panjang merupakan cirri khas penyakit asma dan keadaan hiperreaktivitas bronkus yang menyertai penyakit ini memaksa untuk dilakukan tindakan pengobatan yang memerlukan waktu lama. Pada penderita yang terbukti terdapat faktor-faktor yang diperantarai IgE, usaha-usaha untuk mengurangi pajanan terhadap allergen inhalasi yang sudah diketahui (dan bila diperlukan terhadap imunoterapi) sangat bermanfaat. Menghindari iritan, khususnya asap tembakau, dan pengobatan pada infeksi bakteri pernapasan yang membandel umumnya sangat bermanfaat namun seringkali terlupakan.
Parfum, pembersih aerosol, kosmetik, bau masakan yang tajam, zat-zat pelarut, dan bau cat yang menyengat, secara potensial juga merupakan risiko yang harus dipertimbangkan untuk dihindari. Udara dingin merupakan bronkokonstriktor lain yang pengaruhnya dapat dikurangi dengan memakai syal atau masker penutup hidung dan mulut untuk memanasakan udara. Rencana pengobatan yang teratur dapat mengurangi kelabilan bronkus secara efektif dan dengan demikian akan meninggikan ambang respons penyumbatan saluran napas.
Agen adrenegik-beta (misalnya, metaproterenol, pirbuterol, albuterol) menjadi obat antiasma yang paling banyak digunakan. Obat-obat tersebut memperlihatkan efek adrenergic-beta yang terutama, yaitu melemaskan otot polos saluran pernapasan dengan meningkatnya denyut jantung dan kekuatan kontraktil yang lebih kecil (adrenergic-beta1). Namun, efek tersebut tidak hilang pada pengobatan terbaru, dan tremor otot, mengantuk, dan stimulasi psikomotor merupakan efek tambahan yang disebabkan oleh beta2 intrinsik.
Perbandingan secara langsung menegaskan bahwa preparat inhalasi menyebabkan pemulihan asma yang lebih efektif dan cepat, dengan efek samping sistematik yang lebih ringan dibandingkan dengan agen yang sama namun diberikan secara oral. Dengan dasar ini, manfaat adrenergic-beta khususnya yang berupa aerosol, dapat juga digunakan secara luas untuk obat jenis lain (misalnya, kortikosteroid, antikolinergik). Namun, ketergantungan terhadap bronkodilator yang berbentuk aerosol dan mengarah kepada penggunaannya yang berlebihan, akan membahayakan dan menyebabkan asma yang fatal.
Gejala yang lebih parah dan sering, memerlukan pengobatan anti-inflamasi tambahan dalam jadwal yang normal. Program anti-kombinasi telah meningkatkan penggunaan salmeterol anhalasi, dua kali sehari, untuk efek yang lebih besar, walaupun agen ini tidak dapat menyembuhkan asma akut dengan cepat. Adrenergic-beta2 bentuk sirup dan salmeterol berguna untuk anak-anak, jika diberikan untuk asma yang khas atau jarang timbul, kondisi yang singkat (misalnya, infeksi saluran pernapasan, terpajan allergen yang sudah diperkirakan) juga dapat menimbulkan gejala.
Mengenali peradangan bronkus mulai dari cirri-ciri dan prinsip asma, telah menyebabkan peningkatan dalam memusatkan perhatian untuk memusatkan jumlah dan aktivitas sel-sel pada saluran pernapasan. Jika perubahan tersebut mengikuti sekresi sel mast yang diperantarai oleh IgE, sodium kromolin dan nedokromil telah memperlihatkan nilai profilaksis. Kemampuan obat yang relative aman tersebut untuk menahan respons saluran pernapasan terhadap allergen spesifik dalam laboratorium-tantangan provokatif dapat secara realistis menunjukkan manfaat klinisnya yang diobservasi.
Kortikosteroid-inhalasi merupakan terapi tambahan yang secara signifikan menurunkan morbiditas asma, hiperreaktif bronkus terkontrol, serta jumlah dan tingkat keaktifan peradangan sel-sel saluran pernapasan.
Atropine dan agen antikolinergik terkait telah memperlihatkan aktivitas sebagai relaksan otot bronchial. Inhalasi congener aerosol, ipatropium bromide mencapai bronkodilasi sedang tanpa efek samping yang diharapkan dari antagonis system muskarinik. Ipratropium khususnya digunakan pada asma yang telah mengalami komplikasi bronchitis kronik, namun dapat juga menguntungkan pasien lain yang memiliki masalah saluran pernapasan.
Pengkajian
Riwayat asma atau alergi dan serangan asma yang lalu, alergi dan masalah pernapasan
Kaji pengetahuan anak dan orangtua tentang penyakit dan pengobatan
Riwayat psikososial: faktor pencetus, stress, latihan, kebiasaan, rutinitas, perawatan sebelumnya
Pemeriksaan fisik pernapasan
- Napas pendek
- Wheezing
- Retraksi
- Takipneu
- Batuk kering
- Ronkhi
Kardiovaskuler: takikardi, neurologis, muskuloskeletal, , integumen.
Kaji status hidrasi: Status membran mukosa, turgor kulit, output urine.

Dx dan Intervensi
Dx I: Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler alveolar.
Intervensi prioritas NIC:
Pengelolaan asam basa
Pengelolaan jalan napas
Dx II: Hipertermi b.d proses penyakit atau trauma
Intervensi prioritas NIC:
Pengobatan demam
Regulasi suhu
Pemantauan tanda vital

Jumat, 23 Oktober 2009

Askep Skoliosis

SKOLIOSIS

A. Pengertian
Skoliosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang belakang dimana terjadi pembengkokan tulang belakang ke arah samping kiri atau kanan. Kelainan skoliosis ini sepintas terlihat sangat sederhana. Namun apabila diamati lebih jauh sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan struktur penyokong tulang belakang seperti jaringan lunak sekitarnya dan struktur lainnya. Skoliosis ini biasanya membentuk kurva C atau kurva S.
Skoliosis adalah melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral, disertai rotasi vertebral. Skoliosis merupakan suatu kelainan yang menyebabkan suatu lekukan yang abnormal dari spine. Spine mempunyai lekukan2 yang normal ketika dilihat dari samping, namun ia harus nampak lurus ketika dilihat dari depan. Kyphosis adalah suatu lekukan yang dilihat dari sisi dimana spine bengkok ke depan (maju). Lordosis adalah suatu lekukan yang dilihat dari sisi dimana spine bengkok ke belakang. Orang2 dengan skoliosis mengembangkan lekukan2 tambahan ke setiap sisi, dan tulang2 spine melingkar pada masing2 seperti sebuah pencabut sumbat botol.
Skoliosis adalah sebuah kondisi lengkungan ke samping pada tulang belakang yang dapat merusak ruas2 spine kebanyakan anak2, remaja, dan orang dewasa. Spne manusia mempunyai banyak keistimewaan lengkungan2 alami yang membantu tubuh kita untuk bergerak dan menjadi fleksibel. Pada umumnya skoliosis dibagi atas dua kategori diantaranya adalah skoliosis struktural dan non struktural.
Skoliosis struktural: suatu kurvatura lateral spine yang irreversible dengan rotasi vertebra yang menetap. Rotasi vertebra terbesar terjadi pada apex. Jika kurva bertambah maka rotasi juga bertambah. Rotasi ini menyebabkan saat forward bending costa menonjol membentuk hump di sisi convex, sebaliknya dada lebih menonjol di sisi concav. Skoliosis struktural tidak dapat dikoreksi dengan posisi atau usaha penderita sendiri.

B. Etiologi
Skoliosis dibagi dalam dua jenis yaitu struktural dan non struktural.
v Skoliosis non struktural disebabkan oleh:
Tabiat yang tidak baik seperti membawa tas yang berat pada sebelah bahu saja (menyebabkan sebelah bahu menjadi tinggi), postur badan yang tidak bagus (seperti selalu membongkok atau badan tidak seimbang).
Kaki tidak sama panjang
Kesakitan, contohnya disebabkan masalah sakit yang dirasakan di belakang dan sisi luar paha, betis, dan kaki akibat kemerosotan atau kerusakan cedera di antara vertebra dan menekan saraf.
v Skoliosis struktural disebabkan oleh pertumbuhan vertebra yang tidak normal. Ciri2 fisiknya sbb:
Bahu tidak sama tinggi
Garis pinggang tidak sama tinggi
Badan belakang menjadi bongkok sebelah
Payudara besar sebelah
Sebelah pinggul lebih tinggi
Badan kiri dan kanan menjadi tidak simetris
Penyebab seseorang dapat mengalami skoliosis tidak dapat diketahui secara pasti. Penyebab seseorang dapat mengalami skoliosis bermacam2. ada yang disebabkan karena faktor genetik, neuromuskuler, dan ada pula yang idiopatik.
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis:
Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu
Neuromuskuler, pengendalian oto yang buruk atau kelemahan otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut:
v Cerebral palsy
v Distrofi otot
v Polio
v Osteoporosis juvenil
Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.
Pada kebanyakan kasus2, penyebab dari skoliosis tidak diketahui (idiopatik). Tipe dari skoliosis ini digambarkan berdasarkan pada umur ketika skoliosis berkembang. Jika orang itu kurang dari 3 tahun umurnya, ia disebut infantile idiopathic scoliosis. Skoliosis yang berkembang antara umur 3 dan 10 tahun disebut juvenil idiopathic scoliosis, dan orang2 yang diatas 10 tahun umurnya mempunyai adolescent idiopathic scoliosis.
Ada 3 tipe utama lain dari skoliosis:
Functional: pada tipe skoliosis ini, spine normal, namun suatu lekukan abnormal berkembang karena suatu persoalan ditempat lain didalam tubuh. Ini dapat disebabkan oleh satu kaki adalah lebih pendek daripada yang lainna atau oleh kekejangan2 di punggung.
Neuromuscular: pada tipe ini, ada suatu persoalan ketika spine terbentuk. Baik tulang2 spine yang gagal untuk membentuk sepenuhnya, atau mereka gagal untuk berpisah satu sama lain. Tipe skoliosis ini berkembang pad aorang2 dengan kelainan lain termasuk kerusakan2 kelahiran, penyakit otot (muscular distrophy), cerebral palsy, atau penyakit marfan. Jika lekukan hadir waktu dilahirkan, ia disebut kongenital. Tipe skoliosis ini seringkali jauh lebih parah dan memerlukan perawatan yang lebih agresif daripada bentuk2 lain dari skoliosis.
Degenerative: tidak seperti bentuk2 lain dari skoliosis yang ditemukan pada anak2 dan remaja, degenerative scoliosis terjadi pada dewasa. Ia disebabkan oleh perubahan pada spine yang disebabkan oleh arthritis. Pelemahan dari ligamen2 dan jaringan2 lunak lain yang normal dari spine digabungkan dengan spur2 tulang yang abnormal dapat menjurus pada suatu lekukan dai spine yang abnormal.
Lain2: ada penyebab potensial lain dari skoliosis, termasuk tumor2 spine seperti steroid osteoma. Ini adalah tumor jinak yang dapat terjadi pada spine dan menyebabkan nyeri. Nyeri menyebabkan orang2 untuk bersandar pada sisi yang berlawanan untuk mengurangi jumlah tekanan yang diterapkan pada tumor. Ini dapat menjurus pada suatu kelainan bentuk spine.

C. Tanda dan Gejala
Gejalanya berupa:
v Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
v Bahu dan/ pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
v Nyeri punggung
v Kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
v Skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60o) bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, vertebra membengkok ke kanan dan pada punggung bagian bawah, vertebra membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.
Awalnya penderita mungkin tidak menyadari atau merasakan sakit pada tubuhnya karena memang skoliosis tidak selalu memberikan gejala2 yang mudah dikenali. Jika ada pun, gejala tersebut tidak terlalu dianggap serius karena kebanyakan mereka hanya merasakan pegal2 di daerah punggung dan pinggang saja. Skoliosis tidak menunjukan gejala awal. Kesannya hanya dapat dilihat apabila vertebra mulai bengkok. Jika keadaan bertambah buruk, skoliosis menyebabkan tulang rusuk tertonjol keluar dan penderita mungkin mengalami masalah sakit serta sukar bernafas. Dalam kebanyakan kondisi, skoliosis hanya diberi perhatian apabila penderita mulai menitikberatkan soal penampilan diri. Walaupun skoliosis tidak mendatangkan rasa sakit, rata2 penderita malu dan rendah diri.
Skoliosis derajat ringan misalnya pembengkokan yang sedikit. Biasanya penderita tidak banyak mengeluhkan apa2, bahkan kadangkala orang sekitarnya yang merasa terganggu dengan struktur bengkok tersebut misalnya orang tua penderita, pasangan. Derajat pembengkokan biasanya diukur dengan cara Cobb dan disebut sudut Cobb. Dari besarnya sudut skoliosis dapat dibagi menjadi:
1. Skoliosis ringan: sudut Cobb kurang dari 20”
2. Skoliosis sedang: sudut Cobb antara 21 – 40”
3. Skoliosis berat: sudut Cobb lebih dari 41”
Pasa skoliosis derajat berat, hanya dapat diluruskan melalui operasi. Bukan saja operasi skoliosis merupakan salah satu operasi besar, tetapi juga dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya saja, di negara Ukraina, setelah operasi pasien harus berdiam di tempat tidur selama 6 bulan dengan dibalut gips. Penyembuhan paska operasi di Indonesia juga memakan waktu yang tidak sebentar. Di Jerman dengan metode baru yang dinamakan mobilisasi pasien setelh operasi memperlihatkan perbedaan teknik yang mencolok. 1hari setelah operasi, pasien diharuskan bergerak dan berusaha berdiri dengan dibantu ahli2 gymnastik untuk skoliosis. Hari kedua pasien diharuskan berjalan dengan dibantu ahli2 gymnastik dan tim rehabilitasi.

D. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab, lokasi dan beratnya kelengkungan. Semakin besar kelengkungan skoliosis, semakin tinggi resiko terjadinya progresivitas sesudah masa pertumbuhan anak berlalu.
Skoliosis ringan yang hanya diatasi dengan brace memiliki prognosis yang baik dan cenderung tidak menimbulkan masalah jangka panjang selain kemungkinan timbulnya sakit pinggang pada saat usia penderita semakin bertambah.
Penderita skoliosis idiopatik yang menjalani pembedahan juga memiliki prognosis yang baik dan bisa hidup scara aktif dan sehat.
Penderita skoliosis neuromuskuler selalu memiliki penyakit lainnya yang serius (misalnya cerebral palsy atau distrofi otot). Karena itu tujuan dari pembedahan biasanya adalah memungkinkan anak bisa duduk tegak pada kursi roda.
Bayi yang menderita skoliosis kongenital memiliki sejumlah kelainan bentuk yangmendasarinya, sehingga penanganannyapun tidak mudah dan perlu dilakukan beberapa kali pembedahan.

E. Patofisiologi
Kelainan bentuk tulang punggung yang disebut skoliosis ini berawal dari adanya syaraf yang lemah atau bahkan lumpuh yang menarik ruas2 tulang belakang. Tarikan ini berfungsi untuk menjaga ruas tulang belakang berada pada garis yangnormal yang bentuknya seperti penggaris atau lurus. Tetapi karena suatu hal, diantaranya kebiasaan duduk yang miring, membuat sebagian syaraf yang bekerja menjadi lemah. Bila ini terus berulang menjadi kebiasaan, maka syaraf itu bahkan akan mati. Ini berakibat pada ketidakseimbangan tarikan pada ruas tulang belakang. Oleh karena itu, tulang belakang penderita bengkok atau seperti huruf S atau huruf C.

F. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat, dan lokasi kelengkungan serta stadium pertumbuhan tulang. Jika kelengkungan kurang dari 20”, biasanya tidak perlu pengobatan, tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan secara teratur setiap 6 bulan.
Pada anak2 yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya bertambah sampai 25-30, karena itu biasanya dianjurkan untuk menggunakan brace (alat penyangga) untuk memperlambat progresivitas kelengkungan vertebra. Brace dari Milwaukee & Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun neuromuskular. Jika kelengkungan mencapai 40 atau lebih, biasanya dilakukan pembedahan.
Pada pembedahan dilakukan perbaikan kelengkungan dan peleburan tulang2. tulang dipertahankan pada tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai tulang pulih (kurang dari 20 tahun). Sesudah dilakukan pembedahan mungkin perlu dipasang Brace untuk menstabilkan tulang belakang. Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot vertebra dirangsang dengan arus listrik rendah untuk meluruskan vertebra.

G. Penatalaksanaan
Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 4 hal penting:
1. Mencegah progresifitas dan mempertahankan keseimbangan
2. Mempertahankan fungsi respirasi
3. Mengurangi nyeri dan memperbaiki status neurologis
4. Kosmetik
Adapun pilihan terapi yang dapat dipilih dikenal sebagai “the three O’s” adalah:
Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu < 25o pada tulang yang masih tumbuh atau < 50o pada tulang yang sudah berhenti pertumbuhannya. Rata2 tulang berhenti tumbuh pada saat usia 19 tahun.
Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada waktu tertentu. Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah kunjungan pertama ke dokter. Lalu sekitar 6- 9 bulan berikutnya bagi yang derajat <>20.
Orthosis
Orthosis dalam hal ini adalah pemakaian alat penyangga yang dikenal dengan nama Brace. Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah:
v Pada kunjungan pertama, ditemukan derajat pembengkokan sekitar 30 – 40o.
v Terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 25o.
Jenis dari alat orthosis ini antara lain:
v Milwaukee
v Boston
v Charleston bending brace
Alat ini dapat memberikan hasil yang cukup signifikan jika digunakan secara teratur 23 jam dalam sehari hingga 2 tahun setelah menarche.
Operasi
Tidak semua skoliosis dilakukan operasi. Indikasi dilakukannya operasi pad skoliosis adalah:
v Terdapat derajat pembengkokan >50o pada orang dewasa
v Terdapat progresifitas peningkatan derajat pembengkokan >40 – 45o pada anak yang sedang tumbuh
v Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis

H. Dx kep.
Nyeri kronik b.d ketidakmampuan fisik kronik
Isolasi sosial b.d gangguan penampilan fisik

Askep Osteomalasia

Osteomalasia

1. DefenisiOsteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang dikarakteristikkan oleh kurangnya mineral dari tulang (menyerupai penyakit yang menyerang anak-anak yang disebut rickets) pada orang dewasa, osteomalasia berlangsung kronis dan terjadi deformitas skeletal, terjadi tidak separah dengan yang menyerang anak-anak karena pada orang dewasa pertumbuhan tulang sudah lengkap (komplit).

2. Etiologi
Penyebabnya ditandai dengan keadaan kekurangan vitamin D (calcitrol), dimana terjadi peningkatan absorbsi kalsium dari sistem pencernaan dan penyediaan mineral dari tulang. penyediaan calsium dan phosfat dalam cairan eksta seluler lambat. Tanpa adekuatnya vitamin D, kalsium dan fosfat tidak akan terjadi di tempat pembentukan kalsium dalam tulang.

3. Tanda dan Gejala
a. Nyeri tulang
b. Deformitas mungkin timbul pada punggung dan panggul, tungkai, iga, dan adanya daerah-daerah dimana terdapat pseudofraktur
c. Kelemahan otot bila kalsium serum sangat rendah, tetapi mungkin jarang terjadi

4. PatofisiologiAda berbagai macam penyebab dari osteomalasia yang umumnya menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Faktor yang berbahaya untuk perkembangan osteomalasia diantaranya kesalahan diet, malabsorbsi, gastrectomy, gagal ginjal kronik, terapi anticonvulsan jangka lama (phenyton, phenobarbital) dan insufisiensi vitamin D (diet, sinar matahari). Tipe malnutrisi (defisiensi vitamin D sering digolongkan dalam hal kekurangan calsium) terutama gangguan fungsi menuju kerusakan, tetapi faktor makanan dan kurangnya pengetahuan tentang nutrisi yang juga dapat menjadi faktor pencetus hal itu terjadi dengan frekuensi tersering dimana kandungan vitamin D dalam makanan kurang dan adanya kesalahan diet serta kurangnya sinar matahari.Osteomalasia kemungkinan terjadi sebagai akibat dari kegagalan dari absorbsi calsium atau kekurangan calsium dari tubuh. Gangguan gastrointestinal dimana kurangnya absorbsi lemak menyebabkan osteomalasia. Kekurangan lain selain vitamin D (semua vitamin yang larut dalam lemak) dan kalsium. Ekskresi yang paling terakhir terdapat dalam faeces bercampur dengan asam lemak (fatty acid). Sebagai contoh dapat terjadi gangguan diantaranya celiac disease, obstruksi sistem pencernaan kronik, pankreatitis kronis dan reseksi perut yang kecil. Lagi pula penyakit hati dan ginjal dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, karenanya organ-organ tersebut mengubah vitamin D ke dalam untuk aktif. Terakhir, hyperparatiroid menunjang terjadinya kekurangan pembentukan calsium, dengan demikian osteomalasia menyebabkan kenaikan ekskresi fosfat dalam urine.

5. Manifestasi klinik
Umumnya gejala yang memperberat dari osteomalasia adalah nyeri tulang dan kelemahan. Sebagai akibat dari defisiensi kalsium, biasanya terdapat kelemahan otot, pasien kemudian nampak terhuyung-huyung atau cara berjalan loyo/lemah. Kemajuan penyakit, kaki terjadi bengkok (karena tinggi badan dan kerapuhan tulang), vertebra menjadi tertekan, pemendekan batang tubuh pasien dan kelainan bentuk thoraks (kifosis).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Kalsium dan fosfat anorganik rendah atau di bawah normal
b. Fosfatase alkali meninggi
c. Rontgen menunjukkan fraktur yang khas (Looser's zones) pada tulang-tulang pelvis dan tulang panjang dan terutama metatarsal dan metacarpal
d. Kadar vitamin D

7. Diagnosa banding
a. OsLeoporosis (senilis atau pasca-menopause)
b. Demineralisasi dan tulang yang tidak pernah dipergunakan
c. Kelainan tulang akibat hipoparatiroidisme

8. Penatalaksanaan
Pada defisiensi primer, suplementasi dengan vitamin D (2000 IU/hari) dan mengubah cara hidup bila diperlukan Pada enteropati dan penyebab yang lain, memperbaiki kondisi dan vitamin D (5000 IU/hari) dengan suplementasi kalsium.

9. Pengkajian keperawatan
Pasien dengan osteomalasia biasanya sering mengeluh:
a. Nyeri tulang pada punggung bawah dan ekstremitas.
b. Kelemahan. (Gambaran dari ketidaknyamanan masih samar-samar)
c. Pasien mungkin ada yang fraktur,
d. Selama wawancara, informasikan tentang masalah yang nyata terdapat sehubungan dengan penyakitnya (sindrom malabsorbsi) dan kebiasaan diet dapat diketahui.


10. Dx Keperawatan
Nyeri berhubungan
A. dengan kelemahan dan kemungkinan fraktur.
B. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan prosedur perawatan.
C. Gangguan konsep diri berhubungan dengan pembengkakan pada kaki, cara berjalan loyo/lemah, dan deformitas spinal.

11. Intervensi
Tujuan utama dari pasien dengan osteomalasia mungkin termasuk mengajarkan tentang proses penyakit dan prosedur perawatan, mengurangi nyeri dan memperbaiki serta meningkatkan konsep diri.
Implementasi keperawatan
A. Nyeri berhubungan dengan kelemahan dan kemungkinan fraktur.
Membantu mengurangi rasa nyeri. Pemeriksaan fisik, psikis dan pengobatan dilakukan untuk membantu mengurangi rasa ketidaknyamanan dan nyeri yang dialami pasien. Jadi selain kelemahan juga terdapat nyeri skelet. Anjurkan untuk bergerak ringan pada waktu pengkajian misalnya dengan mengubah posisi secara berulang-ulang untuk membantu mengurangi gejala ketidaknyamanan dengan immobilitas. Beri aktivitas yang mengalihkan perhatian pasien ke hal lain seperti mengajak bicara, nonton TV, dan tehnik distraksi lain, hal tersebut akan mengurangi persepsi klien terhadap nyeri. Analgetik dibutuhkan untuk mengurangi rasa nyeri, respon pasien terhadap pengobatan dimonitor sebagai respon keadaan untuk terapy.
B. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan prosedur perawatan.Pemahaman tentang proses penyakit dan prosedur perawatan. Pendidikan kesehatan tentang penyebab osteomalasia dan pendekatan untuk pengawasan penyakitnya. Pasien dianjurkan untuk diet sumber kalsium dan vitamin D (susu, sereal, telur dan hati ayam). Dosis yang tinggi dari vitamin D dapat menjadi racun dan faktor penunjang untuk terjadinya hypercalsemia, yang terpenting adalah memonitor tekanan rata-rata serum kalsium. Aktifitas diluar yang dilakukan adalah berjemur dibawah sinar matahari untuk mendapatkan sinar ultraviolet pada kulit. Dimana target penting dan dibutuhkan untuk memproduksi vitamin D dalam tubuh.
C. Gangguan konsep diri berhubungan dengan pembengkakan pada kaki, cara berjalan loyo/lemah, dan deformitas spinal. Peningkatan konsep diri. Untuk membangun sebuah hubungan kepercayaan pasien dalam hubungannnya dengan pelayanan perawat. Pasien diajak berdiskusi tentang body image dan metode koping yang efektif. Pasien diberi kesempatan untuk mengenal dan mengungkapkan perasaannya dan dimasukkan dalam rencana keperawatan sesuai masalahnya. Menciptakan partisipasi aktif pasien dan perawat dalam rangka mengontrol diri dan perasaannya untuk membantu memecahkan masalah pasien. Interaksi sosial membantu penerimaan klien akan keadaannya yang telah mengalami perubahan.
Evaluasi Hasil yang diharapkan :
a. Pemahaman tentang proses penyakit dan prosedur perawatan.
· Pasien mengetahui proses perjalanan penyakit dan prosedur perawatan.
· Penggunaan sesuai kebutuhan terapy calsium dan vitamin D.
· Menjemur dibawah sinar matahari.
· Memonitor rata-rata serum kalsium untuk kelanjutan kesembuhan penyakit.
· Selalu follow up tentang semua ketetapan perawatan kesehatan.
b. Mencapai pengurangan rasa nyeri.
· Pasien melaporkan adanya perasaan nyaman.
· Pasien melaporkan berkurangnya kelemahan tulang.
· Menunjukkan peningkatan konsep diri.
· Menunjukkan saling percaya dalam percakapan pasien – perawat.
· Peningkatan tingkat aktivitas
· Peningkatan interaksi social
· Discharge Planing

Askep Artritis Reumatoid Juvenil

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL (JRA)


Pengertian
JRA adalah penyakit atau kelompok penyakit yang ditandai dengan sinovitis kronis dan disertai dengan sejumlah manifestasi ekstra-artikuler.
JRA adalah salah satu penyakit Reumatoid yang paling sering pada anak, dan merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kecacatan. Ditandai dengan kelainan karakteristik yaitu sinovitis idiopatik dari sendi kecil, disertai dengan pembengkakan dan efusi sendi. Ada 3 tipe JRA menurut awal penyakitnya yaitu: Oligoartritis (pauciarticular disease), poliartritis, dan sistemik.
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut Kriteria American Rheumatism Association (ARA) ARJ merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri dari beberapa penyakit.

Kriteria Diagnostik
Pandangan Umum
Team penyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memperbarui (revisi) kriteria tahun 1977 dan menetapkan bahwa JRA adalah nama yang digunakan untuk bentuk utama dari artritis kronis pada anak-anak dan dibagi atas 3 onset subtipe, yaitu: sistemik, poliartikuler, dan pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa kelompok.
v Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling sedikit 6 minggu.
v Tidal (ditemukan penyebab artritis lain)
Onset subtipe JRA
Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit selama 6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun manifestasi-manifestasi yang mirip dengan subtipe lain dapat timbul kemudian.
v JRA onset sistemik
Subtipe ini adalah JRA yang disertai dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten sepanjang hari dapat mencapai 103oF atau lebih), disertai atau tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain. Jika ditemukan adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik (probable systemic onset JRA). Sebelum diagnosis pasti ditegakkan, harus ditemukan adanya artritis.

v JRA onset pausiartikuler
Subtipe ini adalah JRA dengan artritis pada 4 sendi atau kurang selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini.
v Poliartikuler JRA
Subtipe ini adalah JRA disertai artritis pada 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini, yang termasuk dalam onset subtipe:
Systemic Onset (SO)
1. Poliartritis
2. Oligoartritis
Oligoartritis (pausiartikuler onset)
1. Anti-nuklear antibodi (ana) positif, uveitis kronik
2. Faktor reumatoid positif
3. Hla b-27 positif
4. Tidak termasuk klasifikasi lain
Poliartritis (PO)
1. Fkator reumatoid positif
2. Tidak termasuk klasifikasi lain
Arthritis Kronik Juvenil (JCA) dan Arthtritis Juvenil (JA) adalah istilah Dx baru yang digunakan untuk artritis pada masa anak-anak. Dx JCA dan JA tidak sama satu sama lain, demikian juga dengan JRA lama atau penyakit Still.

Etiologi
Penyebab artritis reumatoid dan mekanisme untuk pengekalan radang sinovial kronis belum diketahui. Ada dua hipotesis yaitu, bahwa penyakit disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang tidak dikenali atau bahwa penyakit tersebut menggambarkan reaksi hipersensitivitas atau autoimun terhadap rangsangan yang tidak diketahui. Upaya untuk mengkaitkan agen infeksi seperti virus rubela pada JRA tetap tak tersimpulkan. Infeksi dengan Borrelia burgdorferi , spirokheta penyakit Lyme, menyebabkan pausiartritis berulang atau kronis pada beberapa anak tetapi bukan merupakan agen etiologi dari JRA pausiartikuler. Parvovirus B19 dan mikoplasma juga telah dihubungkan dengan artritis, biasanya sementara, pada anak2. hubungan fakroe reumatoid (antibodi reaktif dengan IgG) dengan artritis reumatoid yang timbul pada orang dewasa memberi kesan mekanisme autoimun. Namun, antibodi ini jelas tidak menimbulkan penyakit, walaupun kompleks imun faktor reumatoid dan imunoglobulin dapat mengekalkan peradangan sinovia dan menimbulkan vaskulitis reumatoid yang ditermukan pada penderita artritis reumatoid seropositif. Kadar komplemen yang rendah terdapat pada cairan sinovia beberapa penderita vaskulitis reumatoid sesuai dengan mekanisme kompleks imun. Namun mekanisme ini gagal menjelaskan sebagian besar keadaan artritis pada anak, karena sebagian besar anak tidak mempunyai faktor reumatoid klasik. Upaya untuk mengkaitkan faktor reumatoid tersembunyi (antobodi yang reaktif dengan gammaglobulin yang dideteksi melalui berbagai macam metode) dengan patogenesis JRA tidak memberikan kesimpulan. Kejadian artritis kronis pada penderita defisiensi IgA dan hipogammaglobulinemia memberi kesan bahwa bagaimanapun untuk menderita artritis kronis; namun, pada anak JRA, tidak ada imunodefisiensi yang dapat dikenali (identifiable) yang dapat dideteksi. Timbulnya JRA secara klinis dapat menyertai infeksi sistemik akut atau trauma fisik pada sendi, tetapi kaitan langsung dengan kejadian demikian tidak terbukti. Eksaserbasi dapat menyertai penyakit atau stres psikis yang datang diantaranya.
Penyakit pausiartikuler tipe II seringkali disertai riwayat keluarga yang positif dengan spondilitis ankilosans, sindrom reiter, iridosiklitis akut, atau pausiartikuler. Baik JRA pausiartikuler tipe I maupun poliartritis faktor reumatoid positif kadang2 terjadi pada satu atau lebih keluarga tingkat pertama dari anak yang terkena. Setiap subkelompok ini mempunyai hubungan HLA yang berbeda, menunjukkan beberapa kecenderungan genetik terhadap penyakit; penyakit pausiartikuler tipe II dengan HLA-B27, penyakit pausiartikuler tipe I dengan HLA-DR28, -DR5, dan –DR6, dan penyakit faktor reumatoid-positif dengan HLA-DR4. tidak ada penyakit yang timbul secara sistemik atau poliartritis seronegatif, yang diketahui mempunyai hubungan HLA atau kejaidan familial.

Patofisiologi
Arthritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang non supuratif. Jaringan sinovila yang terkena edematoda, hiperemis, dan infiltrasi oleh limfosit dan sel plasma. Bertambahnya sekresi cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membran sinovialis yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago artikuler. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat tererosi dan rusak secara progresif. Lamanya sinovitis sebelum sendi menjadi rusak secara permanen, bervariasi pada umumnya, kerusakan kartilago artikuler terakhir dalam perjalanan JRA terjadi lebih belakangan daripada penyakit yang mulai timbul pada/dimulai dewasa, dan banyak anak menderita JRA tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama. Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan penyakit faktor reumatoid positif atau penyakit yang timbul/dimulai secara sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang subkhondral, penyempitan “rung sendi” (kehilangan kartilago artikulera), penghancuran atau fusi tulang, dan deformitas, subluksasio atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis, perumbuhan epifiseal yang dipercepat, dan penutupan epifiseal yang prematur dapat terjadi dekat dengan sendi yang terkena.
Nodul reumatoid kurang sering terjadi pada anak daripada orang dewasa, terutama pada penyakit reumatoid positif, dan memperluhatkan bahan fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pleura, perikardium, dan peritoneum dapat menampakkan serositis fibrinosa nonspesifik; yang jarang yaitu perikarditis konstriktif kronis, jika pernah terjadi. Ruam reumatoid secara histologi tampak seperti vaskulitis ringan, dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil pada jaringan subepitel.

Gejala Klinis
Gejala yang muncul pada pasien anak dengan artritis reumatoid juvenil adalah:
Artritis
Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara objektif. Ditandai dengan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).
Tipe onset poliartritis
Terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala artritis pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis 4 sendi atau kurang. Pada tipe oligoartritis sendi besar lebih sering terkena dan biasanya pada sendi tungkai. Pada tipe poliartritis lebih sering terdapat pada sendi2 jari dan biasanya simestris, bisa juga pada sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
Tipe onset sistemik
Ditandai denga demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda, lebih dari 39oC selama 2 minggu atau lebih, artritis disertai kelainan sistemik lain berupa ruam rematoid serta kelainan viseral misalnya hepatosplenomegali, serositis atau limfadenopati.


Px Diagnostik
1. Klinis
Dx terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstrimitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan kearah JRA yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis.
2. Laboratorium
Px lab dipakai sebagai penunjang Dx. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA). Faktor rematoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka Dx JRA menjadi lebih sempurna.
a. Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10g/dl disertai leukositosis yang didominasi netrofil.
b. Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai pertanda reaktifitas penyakit.
c. Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Peningkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari JRA, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
d. Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, seringkali pada JRA poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Rematoid adalah kompleks IgM-anti IgG dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi lab.
e. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumapi pada JRA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Px imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.
f. Pada Px radiologi biasanya terlihat adanya pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukn tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulangpersendian dan penyempitan daerah tualng rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologi yang khas yaitu ditemukkannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
g. Kriteri Dx artritis reumatoid juvenil menurut American College of Rheumatology (ACR):
1) Usia penderita kurang dari 16 tahun
2) Artritis pada suatu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau terdapat 2/lebih gejala: kekakuan sendi, nyeri pada pergerakan, suhu daerah sendi naik).
3) Lama sakit lebih dari 6 minggu
4) Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari : Poliartritis (5 sendi atau lebih), Oligoartritis (4 sendi atau lebih), penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten
5) Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan.
h. Walapupun tidak ada yang patogomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah JRA yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis.

Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah suprotif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup.
Garis besar pengobatan
Meliputi: (1) program dasar yaitu pemberian: Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita: Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2) Obat antiinflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen; (3) Obat steriod intra-artikuler; (4) Perawatan RS dan (5) pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
v Asam asetil salisilat
v Analgesik lain
v NSAID yang lain
v Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs)
v Hidroksikloroknin
v Kortikosteroid
v Imunosupresan

Diagnosa Kep.
a. Nyeri akut/ kronis b.d. agen cedera biologi (distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi) dan ketidakmampuan fisik secara kronis.
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan memasukkan, mencerna, dan mengabsorpsi makanan karena faktor biologi (mual dan anoreksia).
c. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskular serta kekakuan sendi atau kontraktur
d. Gangguan citra tubuh b.d penyakit dan biofisik
e. Kurang perawatan diri b.d kerusakan muskuloskeletal, nyeri dan lelah atau lemah
f. Kurang pengetahuan b.d penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.
g. Resiko cedera b.d kerusakan mobilitas fisik

Askep Osteoporosis

Osteoporosis
A. Definisi
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi (hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukkan ke dalam tulang. Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.
Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis.
B. Epidemiologi
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi penting karena problem fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.
Diperkirakan lebih 200 juta orang diseluruh dunia terkena osteoporosis , sepertiganya terjadi pada usia 60-70 th, 2/3nya terjadi pada usia lebih 80 th. Diperkirakan 30% dari wanita di atas usia 50 th mendapat 1 atau lebih patah tulang vertabra. Diperkirakan 1 dari 5 pria di atas 50 th mendapat patah tulang akibat osteoporosis dalam hidupnya. Angka kematian 5 tahun pertama meningkat sekitar 20 % pada patah tulang nertebra maupun panggul.
Di Amerika pada tahun 1995 pata tulang aibat osteoporosis menduduki peringkat 1 dibanding penyakit lain, jumlah 1,5 juta pertahun dengan patah tulang vertebra terbanyak (750 ribu),hip(250 ribu), wrist(250 ribu), fraktur lain ( 250 ribu),dengan anggaran meningkat sebesar 13,8 miliar dollarpertahun(kebanyakan biaya untuk patah tulang hip sebesar 8,7 miliar dollar. Bahkan diperkirakan insiden patah tulang hip meningkat bermakna 240% pada wanita dan 320% pada pria. Perkiraan pada tahun 2050 menjadi 6,3 juta terbanyak di asia.
C. Etiologi
Penyebab Osteoporosis yaitu :
a. Osteoporosis postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
b. Osteoporosis senilis
Kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.
c. Osteoporosis sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
d. Osteoporosis juvenil idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

D. Faktor Resiko Osteoporosis
Faktor resiko Osteoporosis yaitu :
a. Usia
· Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8
b. Genetik
· Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)
· Seks (wanita > pria)
· Riwayat keluarga
c. Lingkungan, dan lainnya
· Defisiensi kalsium
· Aktivitas fisik kurang
· Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)
· Merokok, alkohol
· Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)
· Hormonal dan penyakit kronik
Ø Defisiensi estrogen, androgen
Ø Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme
Ø Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal, gastrektomi)
· Sifat fisik tulang
Ø Densitas (massa)
Ø Ukuran dan geometri
Ø Mikroarsitektur
Ø Komposisi
Selain itu ada juga faktor resiko faktur panggul yaitu,:
· Penurunan respons protektif
Ø Kelainan neuromuskular
Ø Gangguan penglihatan
Ø Gangguan keseimbangan
· Peningkatan fragilitas tulang
Ø Densitas massa tulang rendah
Ø Hiperparatiroidisme
· Gangguan penyediaan energi
Ø Malabsorpsi

E. Patofisiologi
Penyebab pasti dari osteoporosis belum diketahui, kemungkinan pengaruh dari pertumbuhan aktifitas osteoklas yang berfungsi bentuk tulang. Jika sudah mencapai umur 30 tahun struktur tulang sudah tidak terlindungi karena adanya penyerapan mineral tulang.
Dalam keadaan normal terjadi proses yang terus menerus dan terjadi secara seimbang yaitu proses resorbsi dan proses pembentukan tulang (remodelling). Setiap ada perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya proses resorbsi lebih besar dari proses pembentukan, maka akan terjadi penurunan massa tulang
Proses konsolidasi secara maksimal akan dicapai pada usia 30-35 tahun untuk tulang bagian korteks dan lebih dini pada bagian trabekula. Pada usia 40-45 tahun, baik wanita maupun pria akan mengalami penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3-0,5 %/tahun dan bagian trabekula pada usia lebih muda
Pada pria seusia wanita menopause mengalami penipisan tulang berkisar 20-30 % dan pada wanita 40-50 % Penurunan massa tulang lebih cepat pada bagian-bagian tubuh seperti metakarpal, kolum femoris, dan korpus vertebra Bagian-bagian tubuh yg sering fraktur adalah vertebra, paha bagian proksimal dan radius bagian distal


F. Tanda dan Gejala
Penyakit osteoporosis sering disebut sebagai silent disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis) dan berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa kita sadari dan tanpa disertai adanya gejala.
Gejala-gejala baru timbul pada tahap osteoporosis lanjut, seperti:
a. patah tulang
b. punggung yang semakin membungkuk
c. hilangnya tinggi badan
d. nyeri punggung
Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Hancurnya tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami hancur secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Hal yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.

G. Manifestasi Klinis
Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata. Ciri-ciri khas nyeri akibat fraktur kompressi pada vertebra (paling sering Th 11 dan 12 ) adalah:
· Nyeri timbul mendadak
· Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yang terserang
· Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
· Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan dan akan bertambah oleh karena melakukan aktivitas
· Deformitas vertebra thorakalis à Penurunan tinggi badan

H. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan non-invasif.
b. Pemeriksaan analisis aktivasi neutron yang bertujuan untuk memeriksa kalsium total dan massa tulang.
c. Pemeriksaan absorpsiometri
d. Pemeriksaan komputer tomografi (CT)
e. Pemeriksaan biopsi yaitu bersifat invasif dan berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan osteoklas, osteoblas, ketebalan trabekula dan kualitas meneralisasi tulang. Biopsi dilakukan pada tulang sternum atau krista iliaka.
f. Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan kimia darah dan kimia urine biasanya dalam batas normal.sehingga pemeriksaan ini tidak banyak membantu kecuali pada pemeriksaan biomakers osteocalein (GIA protein).
I. Penatalaksanaan
Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya massa tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan faktor makanan, latihan fisik ( senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein, diuretika, sedatif, kortikosteroid.
Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang dengan melakukan pemberian obat-obatan antara lain hormon pengganti (estrogen dan progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin, bifosfat, raloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta senam beban.
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama bila terjadi fraktur panggul.
J. Pengkajian Keperawatan
1. Aktivitas / Istirahat.
Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
2. SirkulasiGejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katupdan penyakit cebrocaskuler, episodepalpitasi.
Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisiankapiler mungkin lambat/ bertunda.
3. Integritas Ego.
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan).
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.
4. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayatpenyakit ginjal pada masa yang lalu).
5. Makanan/cairanGejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini(meningkat/turun)Riwayat penggunaan diuretic.
Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
6. NeurosensoriGenjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontansetelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,epistakis).
Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.
7. Nyeri/ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakitkepala.
8. PernafasanGejala : Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyinafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
9. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
10. Pembelajaran/PenyuluhanGejala: Faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosporosis, penyakitjantung,DM.Faktor faktor etnik seperti: orang Afrika-amerika, Asia Tenggara, penggunaan pil KB atau hormone lain, penggunaan alcohol/obat.

K. Diagnosa dan Intervensi
Diagnosa :
a. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi
b. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot
c. Konstipasi yang berhubungan dengan imobilitasi atau terjadinya ileus (obstruksi usus)
d. Risiko terhadap cedera : fraktur, yang berhubungan dengan tulang osteoporotik

Intervensi :
a. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi
Tujuan : Memahami osteoporosis dan program tindakan.
Kriteria hasil : Mendapatkan pengetahuan mengenai oesteoporosis dan program penanganannya.
Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan terhadap massa tulang
Mengkonsumsi kalsium diet dalam jumlah yang mencukupi
Meningkatkan tingkat latihan.

Intervensi :
· Ajarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya oeteoporosis.
· Anjurkan diet atau suplemen kalsium yang memadai.
· Timbang Berat badan secara teratur dan modifikasi gaya hidup seperti Pengurangan kafein, sigaret dan alkohol, hal ini dapat membantu mempertahankan massa tulang.
· Anjurkan Latihan aktivitas fisik yang mana merupakan kunci utama untuk menumbuhkan tulang dengan kepadatan tinggi yang tahan terhadap terjadinya oestoeporosis.
· Anjurkan pada lansia untuk tetap membutuhkan kalsium, vitamin D, sinar matahari dan latihan yang memadai untuk meminimalkan efek oesteoporosis.
· Berikan Pendidikan pasien mengenai efek samping penggunaan obat. Karena nyeri lambung dan distensi abdomen merupakan efek samping yang sering terjadi pada suplemen kalsium, maka pasien sebaiknya meminum suplemen kalsium bersama makanan untuk mengurangi terjadinya efek samping tersebut. Selain itu, asupan cairan yang memadai dapat menurunkan risiko pembentukan batu ginjal.
· Bila diresepkan HRT, pasien harus diajar mengenai pentingnya skrining berkala terhadap kanker payudara dan endometrium.
b. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot
Tujuan : Meredakan rasa nyeri
Kriteria hasil : Mendapatkan peredaan nyeri
· Mengalami redanya nyeri saat beristirahat
· Mengalami ketidaknyamanan minimal selama aktivitas kehidupan sehari-hari.
Intervensi :
· Peredaaan nyeri punggung dapat dilakukan dengan istirahat di tempat tidur dengan posisi telentang atau miring ke samping selama beberapa hari.
· Kasur harus padat dan tidak lentur.
· Fleksi lutut dapat meningkatkan rasa nyaman dengan merelaksasi otot.
· Kompres panas intermiten dan pijatan punggung memperbaiki relaksasi otot.
· Pasien diminta untuk menggerakkan batang tubuh sebagai satu unit dan hindari gerakan memuntir.
· Postur yang bagus dianjurkan dan mekanika tubuh harus diajarkan. Ketika pasien dibantu turun dari tempat tidur,
· pasang korset lumbosakral untuk menyokong dan imobilisasi sementara, meskipun alat serupa kadang terasa tidak nyaman dan kurang bisa ditoleransi oleh kebanyakan lansia.
· Bila pasien sudah dapat menghabiskan lebih banyak waktunya di luar tempat tidur perlu dianjurkan untuk sering istirahat baring untuk mengurangi rasa tak nyaman dan mengurangi stres akibat postur abnormal pada otot yang melemah.
· opioid oral mungkin diperlukan untuk hari-hari pertama setelah awitan nyeri punggung. Setelah beberapa hari, analgetika non – opoid dapat mengurangi nyeri.


c. Konstipasi yang berhubungan dengan imobilitasi atau terjadinya ileus (obstruksi usus)
Tujuan : Memperbaiki pengosongan usus
Kriteria hasil : Menunjukkan pengosongan usus yang normal
· Bising usus aktif
· Gerakan usus teratur
Intervensi :
Konstipasi merupakan masalah yang berkaitan dengan imobilitas, pengobatan dan lansia.
· Berikan diet tinggi serat.
· Berikan tambahan cairan dan gunakan pelunak tinja sesuai ketentuan dapat membantu atau meminimalkan konstipasi.
· Pantau asupan pasien, bising usus dan aktivitas usus karena bila terjadi kolaps vertebra pada T10-L2, maka pasien dapat mengalami ileus.
d. Risiko terhadap cedera : fraktur, yang berhubungan dengan tulang osteoporotik
Tujuan : Mencegah cidera
Kriteria hasil : Tidak mengalami fraktur baru
· Mempertahankan postur yang bagus
· Mempegunakan mekanika tubuh yang baik
· Mengkonsumsi diet seimbang tinggi kalsium dan vitamin D
· Rajin menjalankan latihan pembedahan berat badan (berjalan-jalan setiap hari)
· Istirahat dengan berbaring beberapa kali sehari
Intervensi :
· Anjurkan melakukan Aktivitas fisik secara teratur hal ini sangat penting untuk memperkuat otot, mencegah atrofi dan memperlambat demineralisasi tulang progresif.
· Ajarkan Latihan isometrik, latihan ini dapat digunakan untuk memperkuat otot batang tubuh.
· Anjurkan untuk Berjalan, mekanika tubuh yang baik, dan postur yang baik.
· Hindari Membungkuk mendadak, melenggok dan mengangkat beban lama.
· Lakukan aktivitas pembebanan berat badan Sebaiknya dilakukan di luar rumah di bawah sinar matahari, karena sangat diperlukan untuk memperbaiki kemampuan tubuh menghasilkan vitamin D.




DAFTAR PUSTAKA


Brunner, Suddarth, (2001) Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 3, EGC : Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC : Jakarta.

http://amirrimbawanto.blogspot.com/2009/03/askep-osteoporosis.html diakses pada tanggal 4/8/2009

http://pustaka.unpad.ac.id/archives/10824/. Diakses pada tanggal 4/8/2009

http://wayanpuja.blinxer.com/?page_id=239. Diakses pada tanggal 4/8/2009

http://mukipartono.com/osteoporosis-fraktur-vertebra-sebagai-salah-satu-faktor-resiko-nyeri-pinggang/. Di akses pada tanggal 4/8/2009

http://id.wikipedia.org/wiki/Osteoporosis. di akses pada tanggal 4/8/2009

http://mukipartono.com/osteoporosis-fraktur-vertebra-sebagai-salah-satu-faktor-resiko-nyeri-pinggang/. Di akses pada tanggal 4/8/2009