Sabtu, 24 Oktober 2009

Askep Respiratory Distress Sindrome

RDS
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

A. Pengertian
RDS adalah dispnea dengan sianosis pada neonatus, yang mudah dikenali dengan tanda prodmoral, seperti dilatasi alanasi, dengkur ekspirasi, dan retraksi incisura suprasternal atau margin costalis, disebabkan oleh definisi surfaktan. Ini biasanya terjadi pada bayi prematur, anak2 dari ibi diabetes, dan bayi yang lahir dengan seksio casarea, walaupun kadang2 terdapat penyebab predisposisi yang tidak jelas. Beberapa bayi yang terkena mati pada beberapa hari pertama kehidupan dan otopsi mempunyai materi hyaline eosinofilik yang melapisi alveoli, ductus alveolaris, dan bronchioli. Disebut juga restless legs dan ekboms.
RDS adalah perkembangan immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. Dihubungkan dengan usia kehamilan, BBLR dengan BB lahir kurang dari 1000gr. 20% berkembang dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD).
Paru2 yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir agar bisa bernafas dengan bebas, ketika lahir kantong udara harus dapat terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oelh paru2 dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara saat2 bernafas, paru2 benar2 mengempis, akibatnya terjadi sindroma distress pernapasan.

B. Patofisiologi
v Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alvoeli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernapasan karena immaturnya dinding dada, parenkim paru, dan immaturnya endotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.
v Pada bayi dengan RDS disebabkan oleh menurunnya jumlah surfaktan atau perubahan kualitatif surfaktan, dengan demikian menimbulkan ketidakmampuan alveoli untuk ekspansi. Terjadi perubahan tekanan ekstrathoracic dan menurunnya pertukaran udara.
v Secara alamiah perbaikan mulai setelah 24 – 48 jam. Sel yang rusak akan diganti. Membran hyaline berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), dipagosit oleh makrofag. Sel cuboidal menempatkan pada alveolar yang rusak dan epitelium jalan napas, kemudian terjadi perkembangan sel kapiler baru pada alveoli. Sintetis surfaktan memulai lagi dan kemudian membantu perbaikan alveoli untuk pengembangan.
Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi pematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan untuk berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru2 menjadi kaku. Hal ini menyebabkan perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan menjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru2 nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru2 memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epitel sel alveoli tipe II, dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matrisk fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam datu setengah jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah kompleks; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi retikulogranular karena atelektasis dan air bronchogram. Gejala klinikal yang progresif dari RDS adalah: takipnea diatas 60x/menit, Grunting ekspiratori, subcostal dan interkostal retraksi, cyanosis, nasal faring pada bayi extremely prematur (BBLR) mungkin apat berlanjut apneu, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan kembali dalam paru pada umur 36 – 48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24 – 36 jam pertama. Selanjutnya apabila situasi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60 – 72 jam dan sembuh pada akhir minggu pertama.


C. Manifestasi Klinik
v Pernapasan cepat
v Retraksi (tarikan dada) (suprasternal, substernal, interkostal)
v Pernapasan terlihat paradoks
v Cuping hidung
v Apnea
v Murmur
v Sianosis pusat
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu: adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipneu (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu: (1) terdapat sedikti bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, (2) bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru, (3) alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas, (4) seluruh thorax sangan opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.

D. Dx Kep.
1. Tidak efektifnya jalan nafas b.d hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas d.d dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
2. Gangguan pertukaran gas b.d alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli d.d takipneu, penggunaan otot2 bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABG’s, dan A-a Gradient.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan b.d penggunaan diuretik, keluaran cairan kompartemental.
4. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d edema pulmonal non kardia.
5. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung, edema, hipotensi.
6. Pola napas tidak efektif b.d pertukaran gas tidak adekuat, peningkatan sekresi, penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat atau kelelahan.
7. Cemas b.d krisis situasi, pengobatan, perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) d.d mengekspresikan masalah yang sedang dialami, TD meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
8. Defisit pengetahuan mengenai kondisi, terapi yang dibutuhkan b.d kurang informasi, salah persepsi dari informasi d.d mengajukan pertanyaan, menyatakan masalahnya.

E. Intervensi
Dx I: Tidak efektifnya jalan nafas b.d hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas d.d dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan:
- Klien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas jernih dan ronchi (-)
- Klien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan:
Independen
Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya pengguanaan otot2 intercosta/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus. Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus.
Catat karakteristik dari suara nafas
Catat karakteristik dari batuk
Pertahankan posisi tubuh/ posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi, dan lakukan suction bila ada indikasi
Peningkatan oral intake jika memungkinkan.
Kolaborasi
Berikan oksigen, cairan IV
Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasi
Berikan fisioterapi dada
Berikan bronchodilator
DX II: Gangguan pertukaran gas b.d alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli d.d takipneu, penggunaan otot2 bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABG’s, dan A-a Gradient.
Tujuan:
- Klien dapat memperluhatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal
- Bebas dari gejala distress pernapasan
Independen
Kaji status pernapasan , catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
Catat ada tidaknya suara napas dan adanya bunyi napas tambahan seperti crakless dan wheezing.
Kaji adanya cyanosis
Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Kolaborasi
Berikan humidifer oksigen dengan CPAP jika ada indikasi
Berikan pencegahan IPPB.
Review X-ray dada
Berikan obat2 jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator, dan expektorant.
Dx III: Resiko tinggi defisit volume cairan b.d penggunaan diuretik, keluaran cairan kompartemental.
Tujuan: Klien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda TD, BB, urine output pada batas normal.
Independen
Monitor vital sign
Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban membran mukosa dan karakter sputum
Hitung intake, output, dan balance cairan
Timbang BB setiap hari.
Kolaboratif
Berikan cairan IV dengan observasi ketat
Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi

1 komentar: